Pages

Sunday, August 14, 2011

Mengenang Romadhon Kita

Tulisan ini saya catut dari kreativitas rekan Genblue, nick name nya Ade Donk. Tulisan-tulisannya slalu menarik inspiratif. maklum doi salah satu penikmat sastra. banyak tulisan yang telah ditelurkan hanya saja belum ada media yang pas untuk publikasinya. pada kesempatan ini saya mengutip tulisan-tulisan yang diperuntukan untuk warga Genblue. Buat saya tulisan ini adalah souvenir dari teman untuk seorang teman.

Jika menurutmu, matahari menandai lahirnya suatu hari, dengan yakin aku menamai saat -pukul tiga dini hari- ini sebagai janin. Saat, ketika pada bulan yang lain kita masih sibuk mengemas mimpi-mimpi yang tak pernah selesai, dan matahari sedang berada di belahan dunia yang lain. Dunia yang diam-diam kita idamkan dengan sedikit kepolosan, ketololan barangkali. Namun, Kau boleh menyebutnya embrio. Aku tidak. Aku tidak suka huruf ‘r’. Mungkin juga menurutmu masih berupa morula yg terus bergerak, lantas membelah diri hingga menjelma blastosit yang menempel di keheningan dinding rahim. Ya, di situ, di rahim ibu, dulu sekali, (masing-masing) kita dan sunyi pernah begitu akrab layaknya saudara sesusuan. Di situlah kali pertama sel telur yang telah di buahi rehat setelah perjalanan panjang melintasi falopi. Malam.



“Kita ini seperti bidan yang sengaja menggugurkan kehamilan, kandungan ibu malam.” Kataku.
“Tidak, kita hanya membuatnya lahir lebih awal, prematur, sebelum kokok ayam.” Begitu menurutmu, lalu kita terbahak.

Gelak tawa itu terpantul-pantul dalam sistem limbik otak, lantas mengendap lebih dari satu dekade dalam serebelum. Sampai sebuah pesan tertulis di wall Facebook suatu pagi, Rabu, 10 Agustus 2011.
‘Mang mohon izin ngutip Notes yg ada kaitannya sama Genblue....buat posting di blog, oh iyah request, tulisan mengenai suasana puasa di Kolmas 64 dunk ;) nuhun....’
‘Monggo silahkan.
Boleh, besok tapi ya, apa yg mau ditonjolkan?’
Balasku, masih pada wall yang sama. Tergesa.
‘pokonya ngarti laah maneh :D
lg kangen suasana ramadhan disono neeh...’
Lantas runtinitas. Mengemas berkas. Meneliti keabsahan kwitansi. Fotocopy. Transfer dana. Mengecek saldo Petty Cash. Rekonsiliasi data. Mengirim dokumen pertangungjawaban. Menerima rekanan. Memeriksa pending matter yang kutulis pada post it. Menyiapkan data revisi DIPA. Pasang headset. Bla bla blaaaa…… (autis to be me)

#
“Wa’alaikum salam. Kamu Lagi sibuk De? Aku lagi di Jakarta, Sekarang masih di Gatsu, Nanti siang, mungkin rada sore Insya Allah ke kantormu, urusan seperti biasa”, suara perempuan di sebrang saluran itu terdengar sesaat setelah aku menekan tombol Ok di hp dan menyapa,

“hallo, Assalamu’alaikum…..”

Deg. Serebelum otakku bekerja, menggali segala yg mengendap di dalamnya. Tentang pesan di wall Facebook dirabu pagi, tentang bidan yang menggugurkan kandungan malam -juga kokok ayam- satu dekade silam. Entahlah, nampaknya saraf-saraf otakku lebih menerima rangsangan berupa nada meso sopran yang lebih mendekati alto seorang wanita ketimbang pesan wall facebook seorang karib sekalipun. Padahal keduanya datang dan berasal dari tempat juga masa lalu yang sama. Tepian kota Bandung. Jalan Kolonel Masturi No. 54, Cisarua.

“Kabari lagi kalau jadi ke sini, nanti.” Klik. Suara telepon ditutup.

~Tak ada yang abadi ~ tak ada yang abadi~

Suara vokalis band kota kembang -yang kemudian membuat orang lebih suka menatap monitor miring- itu menggema dari headset lecek yang ku kenakan kembali setelah menerima telepon tadi. Memory otakku seolah melesat dalam kecepatan ribuan kali cahaya ke kota itu. Sekilas terbayang adegan di monitor miring itu. Ah, bukan ini yang aku mau sekarang, aku sedang puasa. Lantas kubuang bayangan itu jauh-jauh. Balik lagi. Ku buang lagi. Masuk lagi. Kubuang lagi. Lagi lagi. Lagi dan lagi. Bosan, lalu kusimpan saja untuk lebaran. Lumayan (maksudnya, ngaconya)

Di bawah sadar aku renungkan liriknya. Hhhmmmmmm….. Betul juga. Tapi tentunya tidak berlaku buat Tuhan. Juga masa lalu: kepunyaan kita. Keduanya kekal. Keduanya abadi, bukan?

Bagaimana tidak, setelah satu dekade lebih melaluinya, aku -juga kamu- pasti masih mengingat setiap detil peristiwa itu dengan mudah. Kegaduhan itu. Juga gelak tawa kita saat memaksa malam menetaskan matahari lebih cepat.

Pesan wall, suara wanita, dan vokalis adegan monitor miring, kombinasi sempurna yang berkonspirasi membawaku ke masa itu. Tempat itu, Masa lalu itu. Romadhon satu dekade lalu.

#
Di iringi kantuk yang menumpuk di pelupuk mata, setelah berkali dibangunkan oleh petugas piket secara sporadis sambil memukul kentongan bambu diimbangi teriakan sekeras-kerasnya, sauuuuuurrrrr, sauuuuuuuurrrrrrrrr. Kaki-kaki kita melangkah goyah, gontai, melambai menuju kamar mandi. Sebuah ruang besar dengan enam sekat sempit berpintu dengan shower yang kebanyakan sudah rusak, enam toilet tempat kita membuang sisa makanan dan mimpi semalam, enam urinoir yang kadang kita sedikit ragu menggunakannya -bukankah kata Pak Kadenun Hasan di Sunnahkan untuk buang air sambil jongkok? empat washtafel yang lebih sering didominasi seorang sahabat untuk cuci muka dengan sabun sulfurnya, dan empat kran wudhu yang sudah tak dapat menutup sempurna, sehingga setiap malam bunyi tetesan airnya bersijingkat melewati lorong, mengendap melewati horor koridor, disapu angin bukit yang dingin menggigit, samar terdengar sampai tempat tidur, ctes…tes, ctes…tes, ctes…tes, serupa bunyi rana kamera yang ditekan dengan shutter lambat, sangat lambat, merindingkan bulu roma.

Selama bulan Romadhon, kita biasa menyalakan sebagian lampu neon di ruang tidur. Ada beberapa teman dari golongan kanan yang masih sempet meneruskan kegiatan tadarus hingga larut malam, tak sedikit yang ketiduran sambil memeluk Al-Qur’an. Sungguh, calon penghuni Syurga yang mengagumkan. Tepat pukul tiga, seiring bunyi kentongan yang dibenci namun dinanti itu, semua lampu serentak dinyalakan. Inilah Aktvitas pertama kita saat bulan Romadhon di asrama.

Setelah cuci muka sekenanya untuk sekedar menghilangkan kantuk -beberapa orang bahkan mungkin tidak melakukannya, kita eksodus ke ruang makan untuk santap sahur. Masih ingat menunya? Telur dadar campur terigu dengan komposisi 1 : 2 yang di masak sore kemarin yang rasanya lebih mirip bakwan rasa telor. Dingin. Oleh karena itu, biasanya, beberapa di antara kita ada yang meminta telur mentah untuk di masak sendiri. Tak terkecuali aku. Telur ceplok dengan taburan bawang goreng setengah mateng supaya aromanya terasa natural, tambahan garam, sedikit penyedap rasa, irisan cabe rawit yang masih hijau segar, digoreng dan dibiarkan sampai terbentuk kerak hitam angus pada bagian bawahnya karena sengaja tidak di balik pada saat menggorengnya, sementara bagian atasnya masih setengah mateng, menjadi pilihan menú favoritku setiap sahur. Kegaduhan di pagi butapun terjadi di dapur dengan kehadiran chef –chef dadakan berlatar suara teriakan dan omelan teh wiwin yang setengah menangis, tak digubris.

Setelah makan sahur, aktivitas selanjutnya adalah bersih diri. Berwudlu atau mandi besar bagi yang semalem mendapat anugrah, jatah syurga bagi para perjaka, mimpi indah. Lantunan tilawah seorang Qori terkenal, Mu’amar, yang mengisi hari-hari selama tiga tahun -tak hanya selama bulan puasa- yang hanya bisa dísela oleh lagu-lagu ruhani Sulis mengalun syahdu dari Mesjid Al-hujroh. Lantunan tilawah itu ibarat mantra ghoib yang memandu langkah-langkah kita. Dengan mengenakan pakaian dinas ibadah : peci; koko; sarung; sabuk; atau, peci; kemeja dimasukin; sarung; sabuk; yang jika salah satu saja tak lengkap, jadi tabungan dosa yang akan dibuka bersama-sama di malam penghisaban, malam sabtu yang mendebarkan, kita berbondong-bondong ke mesjid untuk menunaikan Shalat Subuh berjamaah sebelum bunyi Siwaka.

Ramadhan di sini, seperti derita membawa berkah. Aturan sedikit dilonggarkan demi ibadah. Kita tak harus tergesa ganti baju, seperti bulan lainnya, sehabis subuh untuk berolah raga. Cukup duduk tadarus sampai hari terlahir kemudian bersiap ke sekolah. Saat sekolah libur, kegiatan ibadah sering kita lanjut di kasur, tidur. Saat waktu Sholat Duhur tiba, berbondong-bondong kita ke Mesjid Al-Hujroh yang penuh sejarah itu untuk menunaikan panggilanNya.

Nama Al-Hujroh yang berarti kamar tidur, kita catut secara serampangan dari Bahasa Arab kita yang pas-pasan. Kita namakan demikian karena sebenarnya ruang itu adalah ruang tidur yang berhubung kita belum mempunyai bangunan Mesjid, dikondisikan untuk kegiatan ritual ibadah. Namun, pada akhirnya nama itulah yang menorehkan banyak cerita bagi kita.

Aku yakin kamu masih ingat bagaimana kita, di sini, ditempa banyak hal. Berlatih menjadi iman sholat fardlu yang membuat kita berak-berak sampai kencing batu selama seminggu, muhadhoroh dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris sehingga sebulan sebelumnya kita sembelit tiap hari sampai meringis menahan menangis, menjadi Khotib Jum’at sehingga kita pernah Sholat Jum’at hanya dengan satu Khutbah karena khotibnya keburu panik, belajar bahasa arab, ngerab nahu, sorof, termasuk segala bencana akibat ulah kelucuan-kelucuan kecil (baca kenakalan) kita sebagai remaja yang sedang unyu-unyunya. Aku masih ingat, bagaimana kaos olah raga pemberian seorang sahabat, di gunting dengan tenangnya oleh salah satu pembina yang kita cintai itu di depan mataku. Pasalnya hanya satu, tertangkap mata-mata ketika main bola di sekolah dengan kaos olahraga yang tidak di masukkan bagian bawahnya ke dalam celana training yang super duper seksi itu. Perih.

Di Mesjid ini juga, kita meneriakan slogan-slogan yang setelah bertahun-tahun kemudian baru kita sadari kedahsyatannya. Masih ingatkah kamu, bagaimana dengan semangatnya kita menggemakan kalimat Man Shobari Dhofiro, Man Jadda wa Jadda, dll???

Di Mesjid ini juga kita diajari etika oleh pembina-pembina mukhlis itu, bagaimana kita menghormati dan menghargai manusia secara layak, sesuai kodratnya tanpa berlebihan. Kamu tentu masih ingat para Al-Mukarrom itu keberatan jika kita cium tanganya? Ah, jika saja Multatuli datang ke Indonesia -tepatnya negeri atas angin ini- pada masa itu dan ada ditempat itu bersama kita, tak ayal max havelaar yang legendaris itu tak pernah hada. Tidak ada penghormatan berlebihan di sini, seperti yang dituliskannya tentang rakyat yang begitu tolol mengelu-elu dan menyembah bupati lebak melebihi tuhannya. Pun Penghormatan yang sebenarnya menurut budaya ketimuran memang layak di berikan bagi mereka, guru-guru yang memegang peran penting untuk tumbuh kembang karakter budaya keilmuan individu suatu bangsa. Akan tetapi, beliau-beliau yang rela mendapat honor yang selalu terlambat itu, untuk sekedar dicium tangannya pun tak pernah mengizinkan. Cukuplah terhadap orang tua yang melahirkan dan membesarkan kalian dengan berpayah-payah, kalian bersikap layak seperti itu, tidak pada kami. Demikian kira-kira pesan yang dikatakannya. Sehingga kita hanya diijinkan untuk ‘sedikit’ membungkuk saja ketika bersalaman dengan mereka.

Selama bulan Romadhon kegiatan olah raga sedikit di turunkan tensinya, jika biasanya sehabis Sholat Ashar diadakan pertandingan tinju, smack down, gulat, dan sepakbola (tiga jenis pertama jangan dibaca), di bulan ini kita menghabiskan waktu ngabuburit cukup dengan bertanding bola voly, billyard, yoga, dan golf (yang tiga terakhir abaikan saja), sebagian belajar atau tadarus tentu saja. Itupun, kalau mau secara jujur diakui, lebih sekedar acara show up buat menarik perhatian gadis-gadis tanggung kampung sekitar yang sedang ngabuburit dan melintas di lingkungan asrama. Akan tetapi, menurutmu, gadis-gadis itulah yang justru berusaha menarik perhatian kita. Tak melulu kita. Cheers, setuju.

Waktu yang paling ditunggu adalah saat iftor, berbuka dengan menu ta’jil yang sudah terstandardisasi secara nasional, kolak. Sejenis makhluk kombinasi: kolang-kaling, pisang, acar cina, singkong, ubi, santan, air, dan gula. Jika ada rejeki lebih, terkadang diselang es kelapa, paduan irisan kelapa yang tak bisa dibilang muda, sedikir sirop dengan bergalon-galon air gula, yang paling istimewa adalah kurma yang tak pernah lebih dari lima biji jatah per orangnya. Di sinilah jiwa kepedulian kita dituntut lebih saat bulan puasa. Peduli terhadap kawan seperjuangan yang hari itu tidak berada di asrama karena berbagai hal. Maka, jatah ta’jil sampe makan malam menjadi milik ‘si paling peduli’ tadi. Yang tak bisa diprotes bahwa semuanya kita dapat secara cuma-cuma. Tanpa uang muka, abodemen, cicilan, apalagi bunga. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Sehabis iftor, Sholat Magrib dilaksanakan tanpa hukuman jika tidak sempat berjamaah. Makan malem-yang biasanya dilakukan setelah shalat isya, selama bulan puasa dilakukan setelah Sholat Magrib. Meski demikian, tetap ada sebagian siswa yang diam-diam langsung makan sehabis ta’jil. Hal ini tidak terlalu dipermasalahkan selama bulan romadhon. Benar-benar bulan penuh ampunan. Kegiatan sehabis magrib yang di bulan lain wajib dilakukan sesuai jadwal harinya ditiadakan.

Baru, setelah makan malam, setelah masuk waktu Isya, aturan mulai di berlakukan. Sholat Isya berjama’ah yang dilanjutkan dengan delapan roka’at Sholat Tarawih ditutup tiga Roka’at Sholat witir. Sebagian dari kita ada yang sekedar sampai taraweh dengan alesan masih mau menambah Sholat Sunat lain sebelum witir. Karena ada sebagian anggapan bahwa witir adalah Sholat penutup yang tidak memungkinkan untuk menambah shalat sunnat lain setelahnya. Kita tak pernah mempermasahkan itu. Sungguh indah keberagaman ini jika disikapi dengan iman, bukan?

Untuk menyemarakan bulan Rhomadhon, tiap tahun di bentuk grup Tadarus Maraton. Grup ini bersifat Ad Hoc. Masing-masing grup terdiri dari lima siswa. Setiap malam, sehabis Tarawih, kelompok ini bertugas membaca Al-Qur’an sepanjang malam secara bergantian sekaligus bertugas membangunkan siswa lain untuk makan sahur. Tak heran setiap dua malam sekali kita berhasil khatam Qur’an. Mengesankan.

Di masyarakat kita, bulan puasa justru meningkatkan volume konsumsi. Sehingga bagi masyarakat ekonomi rendah justru membuat pilu. Tak jarang demi memenuhi keperluan itu, mereka menggunakan cara pintas, ringkas. Pernah, kita, dengan di gawangi seksi kemanan, hampir berhasil menangkap pancuri pakaian di ruang jemuran. Meski gagal memangkap pencuri, paling tidak kita berhasil menggalkan aksi pencurian itu. Satu pelajaran kita petik dari peristiwa tersebut, bahwa kita sedikit lupa, berbagi.

Aku tegaskan, ini bukan tentang ‘’Negeri Lima Menara” Ahmad Fuadi. Di sini tak ada yang bernama Alif Fikri, Raja Lubis, Said Jufri, Dulmajid, Atang, atupun Baso Salahudin. Kultur yang terbentukpun tidak seberagam di Pondok Madani itu. Kita relatif lebih homogen dari segi budaya dan etnis karena masih dalam lingkup demografi dengan kawasan yang berdekatan. Namun, siapa bilang kita tak punya cerita, dulu, kita hanya tak sempat menuliskanya. Kita juga tak begitu suka membaca masa depan dari bentuk awan dari bawah menara. Bukan saja karena kita tak punya menara -waktu itu kita belum punya bangunan mesjid, bukan?, tapi justru kitalah menaranya, dan kita jauh berada di atas awan-awan mereka. Maka tak salah jika kita menyebut tempat ini sebagai Negeri di atas awan, lebih menakjubkan, bukan?

Aku masih ingat betul bagaimana kamu, juga sahabat yang lain, begitu takjub menyanjung kreativitas Yang Satu itu, meskipun seringnya justru kalimat ajaib yang kau tasbihkan. Anjing, keren banget, begitu kira-kira. Setiap kali bangun pagi menjelang waktu shubuh, kita melihat puncak-puncak bukit jauh di bawah sana yang nampak mengambang di tengah lautan awan. Puncak-puncak bukit itu menyerupai sekelompok kapal pesiar yang timbul tenggelam di tengah gelombang. Aku ingin jadi pelaut. Kicaumu kacau dengan aroma jigong.

Seminggu menjelang liburan lebaran tiba, kita berdebar harap-harap cemas menanggapi desas desus mengenai isu nasional, THR dan uang transport. Satu stel baju bedug yang akan dipakai di hari raya. Alhamdulillah. Maka nikmat tuhan kamu yang mana (lagi) kah yang kamu dustakan?

Saat liburan usai, musim sekolah tiba, kita embali ke asrama dengan membawa berbagai buah tangan khas daerah masing-masing: duren dari Rangkas Bitung, emping melinjo dari Cirebon, keceprek dari pandeglang, mangga dan sambel kering dari Indramayu. pete dari Tasikmalaya dan Ciamis, moci dari Sukabumi, nanas dari Subang, manggis dan sawo jumbo dari Bayah, kerupuk pasir dan colenak dari Purwakarta, rambutan dari Bogor, dll., lengkap dengan cerita liburan paling stándar : berlibur ke rumah nenek, pergi ke kebun binatang, piknik ke pantai, dll., yang kita gelar disetiap obrolan ringan penuh kelakar sehabis jabat erat dan peluk hangat penuh kerinduan seorang sahabat. (i miss this momment, already and always)



#
Kita tak pernah menanam apa-apa, kita takkan kehilangan apa-apa. Begitu, idolaku –Soe Hok Gie, menulis dalam salah satu puisinya, yang lantas untuk pertama kalinya tidak kuterima. Bagiku, kuharap kamu juga, mengidolakan tidak lantas berarti menerima bulat-bulat dengan kepasrahan, kalau tak mau dikata ketololan, naif. Bukankah kita telah menanam banyak hal, di sini sekarang, atau dimanapun nanti. Itulah ladang yang akan kita pestakan panennya di kemudian hari. Meskipun sebagian ladang itu, hanya menyisakan kerontang dan sesak isak bagi yang menyaksikannya. Bukankah darinya kita mengenal gagal, darinya kita belajar bangkit, dan darinya juga kita layak menuai hasil?

Makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada. Lagi-lagi mengutip kata Soe Hok Gie. Maka seperti itulah adanya kebersamaan kita. Kita datang dari latar belakang keluarga yang berbeda, daerah yang berbeda, bahasa yang berbeda. Hadir di sini untuk sama-sama dibina. Lantas kembali dengan satu tujuan. Bukan untuk menjadi manusia kaya, bukan untuk menjadi pejabat, bukan untuk menjadi birokrat, bukan untuk menjadi pengusaha, bukan pula untuk dicetak menjadi manusia sukses dunia akhirat. Kita ada di sini denagn tujuan yang sangat sederhana, untuk menjadi manusia yang berguna untuk sebanyak mungkin orang. Tapi kita manusia makhluk budaya. Dengan budi dan daya yang dimiliki, kita terlahir untuk menorehkan kisah dan mengukir sejarah. Kita ada tidak lantas untuk tiada begitu saja. Ada jejak yang kita tinggalkan bernama kenangan. Kenangan itulah yang selama ini menjadi ruh bagi hidupnya silaturahmi dan persaudaraan kita yang tak mengenai kata selesai. Seperti itu juga tulisan ini, tak pernah ingin selesai ditulis.

Tabik

No comments: